maritimnewsdotco@gmail.com
Banner Iklan Maritim News

IMM Akan Tetap Tumbuh Meski Digerogoti Pembunuh Demokrasi

$rows[judul] Foto: Ketua Bidang Hikmah, Politik dan Kebijakan Publik PC IMM Gowa, Ian Hidayat. (dok. pribadi)

Oleh: Ian Hidayat - Ketua Bidang Hikmah, Politik dan Kebijakan Publik PC IMM Gowa

Opini - Saya sedang duduk di sudut kota, menikmati hujan yang sedang melanda Ibu Kota (red: Makassar). Kusimak percakapan di grup WhatsApp, sejumlah kawanku baru saja bertolak dari lokasi Musyawarah Daerah (Musyda) DPD IMM Sulsel di Maros, yang konon, di forum itu, membahas semua masalah lalu dirembukkan solusi yang tepat. Sayangnya nihil, sejumlah kawan yang kumaksud memang terlibat, tapi pelibatan mereka tak disertai kualitas.

Jauh hari, sebelum forum Musyda itu tiba, saya pernah berdiskusi dengan kawan lainnya. Soal sejumlah rencana perbaikan internal IMM yang akan dibawah ke forum Musyda. Sembari berdiskusi dan menyeruput kopi, pesimisme juga ikut nimbrung di lingkaran kami. Sebab, elite IMM di Sulsel, dalam beberapa waktu terakhir, cenderung mempertontonkan sikap-sikap pragmatis. Lebih buruk dari itu, ada kelompok yang konsennya hanya menjaga status quo.

Yang menjadi soal, status quo yang dipelihara cenderung melahirkan kelompok anti kritik. Mereka menjelma menjadi alat penindas. Cita ideal IMM hanya tinggal cerita, bak kitab suci yang isinya tak punya nilai aplikatif. Jangankan melahirkan akademisi yang Islami, praktik-praktik kader pragmatis kini condong memperlihatkan kultur partai dalam kontestasi Ikatan, mulai dari praktik politik uang, pembatasan ruang bicara, hingga pembusukan karakter, Musyda juga termasuk.

IMM Laboratorium Intelektual, Iyakah?

Cita-cita IMM selalu memabukkan, apa mungkin karena terkesan melangit?, namun tak bisa membumi. Membentuk Akademisi Islam yang Berakhlak Mulia, dalam Rangka Mencapai Tujuan Muhammadiyah.

Meski sering pesimis, sekaliber Haedar Nashir masih memberi cahaya harapan. Pesan-pesannya masih membekas dalam ingatan. Ia menyebut IMM sebagai laboratorium intelektual. Anggapan itu diucapkan Haedar dengan melihat IMM sebagai organisasi yang didalamnya tergabung berbagai jenis mahasiswa dengan disiplin ilmu yang berbeda. Mau cari yang saintifik, IMM punya. Cari yang Sosiologis, IMM punya. Dan semua disiplin ilmu, IMM punya. Lalu apa yang kurang dari IMM?.

Belum lagi bicara konsep Kuntowijoyo, yang menyebut IMM sebagai jalan progresif. Kader-kadernya punya prinsip yang islami, dekat dengan Al-Qur’an. Lebih jauh ke belakang, Ahmad Dahlan punya diskursus Teologi Al-Maun, yang menekankan bahwa kehadiran Muhammadiyah adalah membersamai kaum subaltern (red: Gramsci), seperti anak yatim dan orang miskin. Yang sabang hari menjadi modal paradigmatis Muhammadiyah melahirkan rumah sakit dan institusi pendidikan. Kurang apa kita di IMM?. Mungkinkah IMM, khususnya para elite, gagal menjalankan Ideologi Muhammadiyah?.

Saya mulai meragukan keberpihakan IMM saat kontestasi politik nasional (red: pemilu). Beberapa elite IMM, secara terang-terangan dan berbangga mendeklarasikan dukungan kepada pasangan calon yang memiliki sepak terjang yang buruk, salah satunya adalah terlibat sebagai pelanggar hak asasi manusia. Namun, mereka mungkin beralasan berpihak kepada yang menang, tapi hal demikian menjadi tanda bahwa IMM tak berpihak kepada kaum subaltern. Tak hanya itu, praktik politik uang yang menjamur dimana-mana, ternyata, juga melibatkan elite IMM. Datanya tak usah kupaparkan, tanyakan saja pada kandamu.

Dampak Buruk Ulah Elite Terhadap Kaderisasi

Hilangnya ruang memilih bagi peserta penuh Musyda adalah ironi. Campur tangan para elite ‘penjaga status quo’ sungguh tak hanya merusak konstelasi, tapi juga berakibat buruk terhadap kaderisasi. Kita tahu, bahwa ruang kaderisasi tak hanya DAD, DAM, dan DAP. Kaderisasi kultural meliputi semua rangkaian proses dan dinamika kader, termasuk forum Musyda.

Kehadiran sejumlah kader yang baru mengecap IMM, di lokasi Musyda pasti menyisakan catatan merah. Memori mereka akan mencatat, bahwa forum Musyda DPD IMM Sulsel di maros dibajak oleh elite.

Selain itu, melihat seliweran informasi di sosmed, jajaran panlih adalah kader-kader IMM yang terkenal kritis pada masanya. Lalu kemana perginya nalar kritis itu dengan melakukan pembiaran terhadap pembajakan forum Musyda?.

Hal lain, seperti deklarasi elite-elite kecil juga semakin menguatkan posisi IMM, di kebanyakan tempat di Sulsel tak lagi berpihak pada gerakan amar ma'ruf nahi mungkar (berbuat baik dan mencegah kemungkaran).

Hilangnya Nilai dalam Musyda

Keputusan forum Musyda di Maros pada akhirnya mencerminkan watak kebanyak kader IMM di Sulsel kini. Hilangnya ruang memilih calon pimpinan adalah bentuk pembredelan demokrasi. Padahal, demokrasi hadir untuk memisahkan jurang antara penguasa dan yang dikuasainya.

Ditengah-tengah putusan yang tak adil, sejumlah kader yang tak berterima justru menerima perlakuan yang tak layak. Memang, perdebatan dan adu mulut dalam setiap kontestasi adalah hal lumrah. Tapi percakapan yang didorong bukan dengan argumentasi adalah tampilan musyawarah yang paling buruk. Nilai intelektual, yang IMM gaungkan selama ini ternyata belum berdampak nyata, khususnya bagi kader kita sendiri.

Hal itu pula lah yang membuat saya tak heran dengan sikap-sikap dan posisi DPD IMM Sulsel menghadapi problematika masyarakat. Pantas saja IMM tak pernah berdiri di barisan para nelayan Tallo, warga Pulau Lae-lae yang ditindas pemerintah, masyarakat Kodingareng yang dikeruk pasirnya, dan berbagai permasalahan yang ada di Sulsel.

Kita percaya bahwa belakangan ini, negara gagal mendengarkan pendapat masyarakat kecil. Namun ada yang lebih buruk dari itu, tubuh DPD IMM Sulsel juga digerogoti watak anti kritik dan sikap tak acuh terhadap realitas sosial. Celakanya, mereka masih percaya diri sebagai ‘generasi unggul’.

Saya dan kalian semua yang masih tetap betah mengkritisi IMM, tak perlu menunggu rampungnya struktur DPD IMM Sulsel. Awal yang buruk tak mengokohkan langkah selanjutnya.

Pada akhirnya, IMM akan tetap ada, tumbuh dan berkembang, meski digerogoti oleh kader yang buta nilai.


Penulis adalah alumni UIN Alauddin Makassar. Saat ini tengah mengabdikan diri di LBH Makassar

Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)