Foto: Penulis
*Oleh Syaifullah
Jakarta - Di sebuah malam yang riuh, di antara suara klakson dan teriakan demonstran, sebuah tragedi pecah di jalanan Jakarta. Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online yang hidupnya sederhana, terhenti di bawah roda baja milik negara. Ia tak pernah berniat menjadi martir, tak pernah mendaftar untuk mati di aspal, namun takdir pahit itu menghampirinya. Tubuhnya remuk, hidupnya terputus, dan sejak saat itu kita dipaksa menatap wajah negara yang dingin—wajah yang sering kali lebih cepat menggilas rakyatnya ketimbang mengulurkan perlindungan.
Betapa rapuh harga nyawa di negeri ini. Affan hanyalah satu di antara jutaan rakyat kecil yang mengais hidup di jalanan. Ia bangun pagi dengan doa sederhana: semoga hari ini cukup untuk makan, semoga tidak ada musibah di jalan, semoga bisa pulang ke rumah dengan selamat. Namun doa itu kandas, karena yang menjemputnya bukan maut alami, melainkan roda negara yang kehilangan arah pada nurani. Dan ironinya, setelah semua terjadi, kita hanya disuguhi kata-kata maaf yang terasa hampa.
Apa arti permintaan maaf jika selalu datang terlambat, setelah darah mengering di aspal? Apa guna belasungkawa yang disampaikan dengan sopan, bila setiap kali rakyat bersuara, negara menjawab dengan tameng besi, gas air mata, dan kendaraan lapis baja? Kematian Affan tak bisa disamakan dengan sebuah kecelakaan biasa; ia adalah potret retaknya relasi antara rakyat dan negara. Di atas kertas, negara berjanji melindungi. Namun di jalanan, janji itu tercerabut begitu saja.
Padahal konstitusi kita telah menegaskan Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya (Pasal 28A UUD 1945). Bahkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pun berkata tegas Everyone has the right to life, liberty, and security of person. Tapi apa artinya kata-kata luhur itu bila di lapangan, aparat justru merampasnya? Apa artinya aturan bila negara sendiri yang melanggarnya?
Dan lebih menyakitkan lagi, pemerintah pusat memilih diam. Bungkam. Menutup mata. Seakan tragedi ini hanyalah bayangan yang bisa hilang begitu saja. Kebisuan itu adalah pengkhianatan. Setiap detik diam mereka adalah tanda bahwa kekuasaan lebih dijaga daripada martabat kemanusiaan. Bila pemerintah tak berani bicara, berarti pemerintah setuju. Bila pemerintah tak bergerak, berarti pemerintah rela rakyatnya digilas.
Affan bukan hanya satu nama dalam berita. Ia adalah cermin dari kita semua. Ia adalah wajah rakyat yang hidup dalam kerentanan, yang bekerja tanpa jaminan, yang setiap hari bergantung pada keberuntungan di jalan raya. Ketika Affan terhenti, maka sesungguhnya terhenti pula rasa aman kita. Hari ini Affan, esok mungkin siapa saja di antara kita yang kebetulan berdiri di tempat yang salah, pada waktu yang salah, di hadapan aparat yang tak lagi mengenal arti kemanusiaan.
Keadilan bagi Affan tidak bisa lahir dari belasungkawa, tidak bisa ditebus dengan biaya rumah sakit atau pemakaman. Keadilan hanya lahir jika ada keberanian untuk mengusut tuntas, menghukum siapa pun yang bersalah, dan mereformasi cara negara memperlakukan rakyat. Tanpa itu, tragedi ini hanya akan menjadi satu catatan kecil yang cepat dilupakan, menambah daftar panjang korban yang dikorbankan di altar kekuasaan.
Sejarah tidak akan mencatat dengan rinci siapa saja pejabat yang berpidato manis usai tragedi ini. Sejarah hanya akan mengingat dua hal: pertama, bahwa seorang rakyat kecil bernama Affan Kurniawan tewas di bawah roda negara. Kedua, bahwa rakyat, mahasiswa, dan siapa pun yang masih memiliki nurani, tidak tinggal diam. Karena kita tahu, jika tragedi seperti ini terus dibiarkan, maka keadilan akan mati, dan bersama dengannya, matilah demokrasi yang selama ini kita jaga dengan darah dan air mata.
Affan mungkin telah pergi, tetapi namanya akan hidup sebagai tanda seru di tengah kalimat panjang bangsa ini. Tanda seru yang mengingatkan kita bahwa diam adalah bentuk pembiaran, bahwa bungkam adalah bentuk persetujuan, dan bahwa satu-satunya cara menjaga martabat kemanusiaan adalah dengan terus bersuara. Sebab jika kita ikut diam, maka cepat atau lambat, roda negara yang sama akan mencari korban berikutnya.
Tulis Komentar