Foto: Ilustrasi
*Oleh Ishak
Makassar - Ditengah massa aksi berujung korban tanpa rasa manusiawi, pada kamis sore, kawasan Pejompongan Jakarta Pusat, berubah menjadi saksi bisu tragedi hilangnya rasa kemanusian.
Dalam demo berujung kerusuhan itu, sebuah kendaraan Taktis Brimob berubah menjadi musuh demonstran, nyawa melayang dibawa roda kendaraan dinas milik aparat keamanan.
Nama Brimob yang selama ini dikenal sebagai penjaga keamanan menjadi simbol kekerasan yang merenggut keselamatan warga. Pengendara ojek online yang bekerja mencari nafkah, bukan bagian dari demonstran, namun menjadi korban. Ini terjadi sebab ketidaksiapan serta lemahnya kontrol atas kekuatan yang dilakukan aparat.
Kegagalan serius dalam prosedur pengamanan massa, aparat negara khususnya Brimob yang bertugas mengawal serta menjaga ketertiban justru menjadi pembunuh.
Semestinya Brimob yang bertugas mengawal dan menjaga ketertiban memegang teguh prinsip perlindungan terhadap warga sipil termasuk pengunjuk rasa maupun masyarakat yang tidak terlibat langsung dalam demonstran.
Kasus tersebut menunjukan adanya potensi penyalahgunaan kekuasaan yang sangat berpotensi membahayakan nyawa. Tragedi ini menimbulkan tanda tanya terkait standar operasional prosedur (SOP), dimana aparat tidak mengerti kerja profesional dan tidak mampu membangun rasa humanis.
Suara para demonstran, untuk menyampaikan pendapat tak selayaknya dibalas dengan kekerasan apalagi sampai mengorbankan nyawa pengendara ojol. Olehnya, kita mesti mendorong tanggung jawab dan evaluasi menyeluruh dalam tubuh Polri.
Lebih jauh, kejadian ini tercermin betapa buruknya bagi demokrasi saat ruang berekspresi dalam bentuk demonstrasi sudah dijaga oleh aparat dengan pendekatan kekerasan atau intimidasi fisik, maka sesungguhnya hak warga untuk menyampaikan aspirasi secara damai justru semakin terancam.
Kejadian tersebut mengingatkan kepada aparat keamanan bahwa begitu pentingnya menghormati nyawa dan hak asasi manusia dalam setiap tindakan.
Kejadian ini merupakan bagian dari kegagalan pemimpin serta begitu alergi terhadap kritikan dan aspirasi rakyat diabaikan. Alih-alih membela aspirasi publik, pemerintah setempat justru mengandalkan kekuatan represif yang dilakukan oleh aparat keamanan sebagai alat utama menutup suara kritis.
Aparat yang dipaksa menjalankan perintah tidak manusiawi dalam situasi yang tidak kondusif, sementara kesalahan strategis dan politis dibiarkan tanpa pertanggungjawaban.
Yang paling menyakitkan adalah respon pemerintah atas insiden ini, bukanya mengambil langkah evaluasi mendalam dan bertanggung jawab atas arah kebijakan keamanan yang represif, pemerintah malah cenderung alergi kritikan.
Ditengah tekanan yang semakin besar aparat keamanan pun dijadikan kambing hitam atas semua kelakuan, mereka tampak menjadi pion dalam permainan kuasa yang menolak koreksi, dipaksa menjalankan tugas tanpa peduli hingga mengorbankan warga biasa.
Affan adalah contoh kecil rakyat yang seharusnya dilindungi malah terlindas oleh roda kekuasaan yang berjalan tanpa kontrol.
Insiden bagi korban pengendara ojek online bukan hanya soal kendaraan yang menyeret dibawa ban mobil dinas aparat melainkan simbol dari sebuah pemerintahan yang kehilangan arah kemanusian, rasa persaudaraan, serta alergi terhadap suara rakyat biasa dan menggunakan aparat sebagai tameng agar suara tetap dibungkam.
Ini panggilan keras demokrasi yang sesungguhnya bagi aparat untuk mempertanggungjawabkan perbuatan tidak manusiawi dan harus diberikan sanksi sesuai hukum yang adil.
Sejatinya Affan Kurniawan adalah sosok pahlawan demokrasi. Yang semestinya mendapat tempat terhormat.
Mengenai kemarahan publik yang muncul, hal ini sering menjadi reaksi emosional terhadap peristiwa tertentu, alangka baiknya kemarahan dialihkan untuk fokus pada isu utama meminta pertanggungjawaban Brimob atas perbuatan tidak manusiawi serta membunuh korban yang bukan bagian dari demonstran.
Tulis Komentar