maritimnewsdotco@gmail.com
Banner Iklan Maritim News

Cerita Nelayan Bengkulu: Menjaga laut dan Harapan di Tengah Krisis Iklim-Fluktuasi Hasil Tangkapan

$rows[judul] Foto: Momen ketika Surya bercengkerama dengan nelayan di Kaur, Bengkulu. (Istimewa)

Jakarta - Selayaknya warga pesisir, mayoritas penduduk di Kabupaten Kaur, wilayah selatan Provinsi Bengkulu berprofesi sebagai nelayan. Bagi mereka, profesi itu tak sekadar mata pencaharian, tetapi telah menjadi identitas, warisan budaya, dan bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari anggota komunitas.

Sejak kecil, generasi di wilayah itu telah dikenalkan dengan laut dan budaya turun temurun. Bagi orang tua, mereka bertanggungjawab mengenalkan laut sebagai halaman rumah, dan perahu sebagai sahabat setia -- kepada anak-anak mereka.

Laut memberi makan, menyekolahkan anak, hingga membiayai rumah tangga. Namun, laut juga bisa menjadi ujian berat yang menguras tenaga, waktu, bahkan mempertaruhkan nyawa.

Demikianlah penuturan Surya Mardiana, salah satu finalis Duta Maritim Indonesia tahun 2025, saat mengunjungi, bercakap-cakap dan mengamati interaksi sosial di kelompok masyarakat yang bermukim di tepi laut Bengkulu itu.

Kepeduliannya itu, bukanlah hal baru. Ia telah menaruh perhatian secara serius terhadap kondisi sosiokultural warga pesisir sejak lama.

Terpilihnya sebagai duta memberinya kesempatan memperdalam wawasan maritim di Sekolah Duta Maritim Indonesia (SDMI) Batch 4, yang akan berlangsung pada 10-18 Agustus 2025 di Jakarta.

Lebih lanjut, tutur Surya, warga Kaur belakangan menghadapi tantangan yang lebih berat. Cuaca yang tidak menentu menjadi penghalang utama. Musim badai memaksa mereka berdiam diri di darat, sementara tabungan semakin menipis. Tidak sedikit yang mengandalkan pinjaman demi tetap bisa membeli bahan bakar atau memperbaiki perahu.

Persoalannya, sebagian besar nelayan di wilayah Kaur tidak memiliki pekerjaan sampingan, sehingga ketika tidak melaut, mereka harus benar-benar berhemat.

Meski berhasil melaut, hasil tangkapan pun belum tentu menggembirakan. Beberapa nelayan mengungkapkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, jumlah ikan yang didapat semakin berkurang. 

Belum lagi harga ikan di pasaran yang sering kali rendah, membuat penghasilan mereka tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Bahkan, ada kalanya uang hasil penjualan ikan tidak cukup untuk menutup modal melaut.

Situasi ini kata Surya, membuat para nelayan kecil sering bertanya-tanya: faktor apa yang sebenarnya memengaruhi harga ikan? Apakah karena jumlah tangkapan yang berkurang, biaya distribusi, atau kendala lain yang mereka belum ketahui?

Satu hal yang pasti, mereka tetap berharap adanya kejelasan dan kebijakan yang dapat membuat harga lebih stabil, sehingga kerja keras mereka terbayar dengan layak.

Di balik semua tantangan itu, Surya menangkap pesan dari cerita warga. Harapan masih menjadi jangkar yang menjaga mereka tetap bertahan.

Di rumah, istri dan anak menanti kedatangan mereka dengan doa-doa. Bagi nelayan, tidak ada kebahagiaan yang lebih besar selain pulang membawa hasil yang cukup untuk menghidupi keluarga. Setiap kali berlayar, mereka tidak hanya membawa jaring dan perahu, tetapi juga mimpi dan doa agar laut kembali ramah.

Seperti ombak yang datang silih berganti, mereka percaya bahwa hidup pun memiliki pasang surut. Selama ada keberanian untuk kembali berlayar, mereka akan terus menjaga laut — karena laut bagi mereka bukan hanya sumber penghidupan, tetapi juga bagian kehidupan.

Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)