*Oleh Rahim, Aktivis Mangrove
Makassar - Menanam mangrove di kepala bukanlah soal menumbuhkan akar di antara rambut atau membiarkan daun hijau menjuntai di pelipis, melainkan sebuah cara berpikir. Ia adalah simbol kesadaran yang kita simpan di benak, bahwa kehidupan di kampung pesisir sangat bergantung pada akar-akar yang menancap di lumpur pantai. Mangrove bukan sekadar pohon, melainkan benteng alami, rumah bagi ikan kecil, udang, kepiting, bahkan burung yang mencari makan di sela rantingnya.
Ketika kita menanam mangrove di kepala, artinya kita mengingatkan diri sendiri bahwa pesisir bukan ruang kosong yang bisa diperlakukan semaunya. Ia adalah wajah kampung, tempat orang-orang tumbuh, mencari rezeki, dan menyulam hidup dengan laut. Akar-akar mangrove yang kokoh menahan abrasi adalah metafora keteguhan warga yang menjaga tanah kelahirannya dari ancaman ombak dan waktu.
Namun, realitas hari ini sering berbeda. Banyak pesisir tergerus, banyak kampung kehilangan tanahnya, bukan hanya karena ombak yang ganas, tapi juga karena manusia yang lalai. Menanam mangrove di kepala berarti menolak lupa; bahwa setiap batang yang kita tanam di garis pantai adalah doa yang menjelma. Doa agar kampung tetap tegak berdiri, agar rumah-rumah tidak roboh, agar anak-anak masih bisa berlari di pasir tanpa takut terkikis air pasang.
Menanam mangrove di kepala berarti menjadikan kepedulian sebagai kesadaran kolektif. Bahwa menjaga kampung pesisir bukan hanya urusan nelayan atau pemerintah, tapi tanggung jawab semua orang yang mengerti arti rumah. Sebab kampung pesisir bukan hanya milik mereka yang tinggal di tepi laut, melainkan milik kita bersama sebagai bangsa yang hidup di negeri kepulauan.
Pada akhirnya, menanam mangrove di kepala adalah menanam harapan. Harapan bahwa kampung pesisir tidak sekadar bertahan, tetapi juga tumbuh lebih kuat, seindah hutan bakau yang hijau, sekuat akar yang tak mudah tercerabut.
Tulis Komentar