maritimnewsdotco@gmail.com
Banner Iklan Maritim News

Serikat Buruh Seruduk KIBA Buntut PHK Sepihak 350 Pekerja PT Huadi

$rows[judul] Foto: Massa aksi SBIPE saat protes kebijakan PT Huadi yang PHK 350 pekerja secara sepihak. (Istimewa)

Bantaeng - Serikat Buruh Industri Pertambangan dan Energi (SBIPE) menyeruduk Kawasan Industri Bantaeng (KIBA), Sulawesi Selatan (Sulsel) sebagai bentuk protes terhadap kebijakan PT. Huadi Nickel Alloy Indonesia yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) 350 pekerja secara sepihak. SBIPE menilai keputusan yang berlaku sejak 1 Juni 2025 itu dilakukan tanpa dasar hukum yang sah dan mencederai hak-hak pekerja.

Sekitar 150 buruh melakukan aksi protes berupa orasi, membentangkan spanduk dan petaka di depan gerbang utama KIBA pada Kamis, 3 Juli 2025 dan menuntut bertemu langsung dengan pimpinan perusahaan. Mereka mendesak agar kebijakan PHK sepihak dibatalkan dan berbagai persoalan yang tak kunjung usai segera dibenahi.

Ketua SBIPE KIBA, Junaid Judda, menegaskan keputusan merumahkan buruh diambil sepihak tanpa melibatkan serikat buruh dalam proses musyawarah dengan pihak manajemen. Ia juga menyayangkan nasib buruh yang belum jelas, karena selama dirumahkan hak-hak mereka belum dipenuhi, termasuk soal gaji yang belum dibayarkan.

"Istilah ‘dirumahkan’ yang digunakan PT. Huadi tidak memiliki landasan hukum dalam regulasi ketenagakerjaan. Ini bentuk manipulasi untuk menghindari kewajiban membayar upah," kata Junaid dalam keterangannya dikutip, Jumat, 4 Juli 2025.

Perusahaan nikel asal Tiongkok itu tercatat tak hanya sekali berselisih dengan para buruh, sejak Desember 2024, PT Huadi disebut kerap melakukan PHK sepihak tanpa mengikuti prosedur yang berlaku dan mengabaikan penyelesaian hak-hak normatif pekerja.

Berdasarkan data SBIPE, buruh kerap dipaksa lembur hingga 4 jam setiap hari. Hal itu berlangsung selama 20 hari dalam sebulan, namun upah lemburnya tidak pernah dibayarkan secara penuh. Bahkan hingga pertengahan 2025, PT Huadi masih membayar buruh di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) yang berlaku di Sulsel.

Puncak ketegangan terjadi pada 25 Juni 2025 saat manajemen PT Huadi menggelar pertemuan tertutup di Pos 1 bersama sejumlah pimpinan unit kerja dari Tahap Satu (T1) dan Tahap Dua (T2). Dalam rapat itu hadir Manager HRD PT Huadi, Andi Adrianti Latippa.

Lima hari setelah pertemuan, para pemimpin unit diminta menyampaikan keputusan sepihak perusahaan bahwa 350 buruh dilarang masuk kerja selama tiga bulan mulai 1 Juli 2025. Keputusan itu disampaikan tanpa surat resmi, tanpa kesepakatan bersama, dan tanpa kepastian soal pembayaran upah.

"Ini bentuk pengambilan keputusan yang cacat hukum. Tak hanya melanggar etika hubungan industrial, tapi juga secara terang-terangan bertentangan dengan undang-undang," tegas Junaid.

Lima Tuntutan Serikat Buruh

Atas dugaan pelanggaran yang dinilai dilakukan secara sistematis dan disengaja, SBIPE bersama Federasi Serikat Pekerja BUMN (FSPBI) melayangkan lima poin tuntutan.

1. Batalkan kebijakan sepihak merumahkan buruh, dan segera bayarkan secara penuh seluruh upah dan tunjangan bagi 350 buruh T2 yang dirumahkan.

2. Bayarkan seluruh kekurangan upah lembur secara menyeluruh kepada semua buruh PT Huadi Nickel Alloy Indonesia.

3. Segera berlakukan dan penuhi ketentuan UMP 2025, serta bayarkan kekurangan upah dari Januari hingga Juni 2025.

4. Pemerintah, khususnya Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Bantaeng dan Provinsi Sulsel, harus turun tangan, lakukan pemeriksaan menyeluruh, dan tegakkan hukum ketenagakerjaan secara transparan.

5. DPRD Kabupaten Bantaeng harus segera membentuk panitia khusus (Pansus) untuk mengusut praktik pelanggaran hukum dan eksploitasi buruh oleh PT Huadi. (Rls)


Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)