Foto: Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim terdiri dari Yayasan PIKUL, ICEL, KIARA dan masyarakat sipil lainnya (Foto: ARUKI).
Jakarta - Forum Indonesia Climate Justice Summit (ICJS) 2025 yang digelar Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Keadilan Iklim. Desakan ini muncul karena regulasi tersebut dinilai penting sebagai landasan hukum untuk memastikan perlindungan masyarakat dari dampak krisis iklim.
Perwakilan Aliansi Rakyat untuk Kedaulatan Iklim (ARUKI), Torry Kuswardono, mengatakan Indonesia hingga kini belum memiliki payung hukum setingkat undang-undang yang secara khusus menjawab persoalan krisis iklim. Ia menilai ketiadaan regulasi ini membuat upaya penanganan krisis iklim belum memiliki landasan hukum yang kuat.
"Regulasi paling besar yang kita punya hanya peraturan presiden tentang nilai ekonomi karbon dan perdagangan karbon. Tidak ada UU yang menjawab persoalan yang dihadapi rakyat," kata Dono di Gedung Serbaguna GBK, Jakarta, Rabu (27/8/2025).
Menurut Dono, krisis iklim tidak hanya persoalan lingkungan semata, tetapi juga masalah lintas sektor yang menyentuh berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dampaknya dirasakan perempuan, masyarakat adat, nelayan, petani, penyandang disabilitas, buruh dan pekerja informal, generasi muda, hingga kelompok rentan lainnya seperti warga miskin kota dan minoritas gender.
"Tidak ada satu kementerian pun yang bisa mengklaim paling memahami masalah iklim. Ini masalah lintas sektor," tegas dia.
Sementara itu, perwakilan petani asal Jawa Barat, Siti Ruqayah, menyampaikan para petani benar-benar merasakan dampak dari perubahan iklim. Penurunan produktivitas tanaman, kekeringan, banjir akibat hujan tak menentu, hingga serangan hama dan penyakit disebutnya sebagai tantangan nyata yang kini dihadapi petani.
"Kami meminta perlindungan sosial bagi petani termasuk jaminan gagal panen akibat iklim ekstrem," ungkap Ruqayah.
Ia juga menekankan pentingnya menempatkan petani sebagai subjek utama dalam pembangunan pertanian, bukan hanya sebagai objek kebijakan. Menurutnya, petani harus diberi ruang untuk terlibat langsung dalam pengambilan keputusan agar kesejahteraan mereka benar-benar terjamin.
"Lindungi petani dari perampasan lahan, dan berikan subsidi langsung kepada petani penggarap," jelas dia.
Desakan ARUKI disambut oleh sejumlah anggota DPR yang hadir dalam forum tersebut. Wakil Ketua Fraksi PKB DPR RI, Maman Imanulhaq, menyatakan siap mengawal proses legislasi RUU Keadilan Iklim.
"Prinsip terpenting dalam UU Iklim adalah keadilan sosial. Kita harus dukung agar RUU ini bisa disahkan, paling tidak di periode 2026. Dengan partisipasi publik yang kuat, tidak ada yang sulit,” kata Maman.
Sementara itu, Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Rieke Diah Pitaloka, menekankan pentingnya RUU Keadilan Iklim sejalan dengan transisi energi hijau yang tidak meninggalkan rakyat.
"Landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis harus kuat, agar RUU ini betul-betul mewujudkan amanat konstitusi: pemenuhan sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, jaminan sosial, hak atas hukum dan HAM, hingga lingkungan hidup yang aman dan nyaman,” jelas Rieke.
Sebelumnya, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengelolaan Perubahan Iklim (PPI) telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPD RI tahun 2025.
Ketua Tim Kerja RUU Pengelolaan Perubahan Iklim DPD RI, Badikenita Sitepu, mengungkapkan bahwa regulasi yang ada saat ini masih sebatas Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri. Karena itu, dibutuhkan undang-undang dengan dasar hukum yang lebih kuat untuk menjawab tantangan perubahan iklim.
"RUU ini juga memperhatikan isu strategis tentang transisi energi bersih, nilai ekonomi karbon, perlindungan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, ketahanan pangan, pengelolaan risiko bencana berbasis iklim, dan isu strategis lainnya," ungkap Badikenita.
Tulis Komentar