Foto: Ishak, Fasilitator Komunitas Belajar Nulis Aja Dulu
*Oleh Ishak, Fasilitator Komunitas Belajar Nulis Aja Dulu
Makassar - Kebijakan Gubernur Sulawesi Selatan menghadirkan Taksi Listrik berbasis online menuai masalah. Niat baik mewujudkan kota Makassar hijau memicu konflik ekonomi masyarakat bawah.
Soal tujuan Makassar hijau melalui program ini mesti kita pertanyakan kembali. Apakah kebijakan ini sudah tepat atau ada kebijakan lain yang dapat menghadirkan Makassar hijau. Salah satu opsi yang perlu kita pertimbangkan yakni Gubernur dapat memperluas ruang terbuka hijau (RTH) seperti taman. Kebijakan ini terasa lebih tepas sebab telah didukung Peraturan RTH di setiap daerah minimal 30% luas wilayah. Pertanyaan sekarang, sudah berapa persen RTH di Makassar.
Narasi pemerintah terkait Taksi listrik Green SM seakan hanya sekadar menjanjikan keberlanjutan dan kenyamanan berkendara hanya semu. Terlebih taksi listrik masih menghadapi kendala serius, mulai dari tingginya biaya investasi awal kendaraan listrik, ketersedian infrastruktur pengisian daya yang belum merata hingga tantangan adaptasi pengemudi dan konsumen.
Dengan kata lain, kebijakan ini semata-mata mengejar perkembangan teknologi tanpa makna. Yang diharapkan sejatinya yakni kebutuhan utama dalam konteks lingkungan dan masa depan. Itupun harus ditempuh dengan strategi matang agar manfaatnya dirasakan semua kalangan, bukan hanya mengikuti tren perkembangan teknologi yang sebenarnya belum siap diadopsi sepenuhnya.
Di tengah padatnya aktivitas masyarakat Kota Makassar, yang sebenarnya kita butuhkan adalah taman dan pohon. Gubernur Sulsel yang mendorong inovasi ini, harus berani mengalokasikan ruang publik yang cukup terutama pengadaan taman penghijauan, bukan justru memperbanyak kendaraan.
Belum lagi soal kemacetan Makassar sebagai masalah lama yang berakar pada kepadatan kendaraan serta tingginya volume aktivitas komersial. Penambahan armada taksi listrik tanpa perencanaan transportasi berkelanjutan, justru memperparah kemacetan.
Kehadiran teknologi maju dengan berbasis pelayanan taksi listrik, ibarat pedang bermata dua, antara menawarkan teknologi modern dan potensi memperumit kondisi lalu lintas yang bermasalah. Realitas lainnya adalah adanya kekhawatiran pengemudi pete-pete dan bentor yang merasa keberadaan taksi listrik sebagai ancaman ekonomi mereka. Sementara selama ini, mereka menggantungkan hidup dari sana.
Angkutan pete-pete dan bentor yang selama ini menumbuhkan rasa kebersamaan dalam keseharian masyarakat justru memicu keterasingan penumpang angkutan. Taksi listrik berpotensi mengurangi jumlah penumpang yang menggunakan jasa pete-pete dan bentor.
Dalam sudut pandangan lainnya, dengan layanan yang lebih nyaman berbasis teknologi tentunya taksi listrik menarik perhatian lebih banyak konsumen yang menginginkan pengalaman berbasis taksi online. Kehadiran sistem taksi listrik yang berbasis aplikasi bisa saja memutus interaksi sosial dan mengubah waja kota menjadi lebih individualistik, ini merupakan dilema antara modernitas teknologi dengan pelestarian struktur sosial dan ekonomi lokal yang selama ini memegang peran vital.
Penumpang yang sebelumnya sering terlibat obrolan singkat, melakukan komunikasi antar penumpang atau sopir kini memilih jalan yang privat dan senyap. Model angkutan Listrik ini mengurangi ruang sosial yang menjadi arena bertemu dan berbagi cerita antar warga. Taksi Listrik di Makassar menandai perubahan dari ruang sosial yang terbuka beralih ke ruang privat dan memicu isolasi sosial. Sehingga dampak jangka panjangnya, mulai hilang ikatan sosial.
Pertarungan taksi listrik, angkutan lokal pete-pete, dan bentor di Makassar ini adalah gambaran ketegangan perubahan sistem transportasi yang tidak sekedar persoalan teknologi namun juga sosial ekonomi, penulis menyarankan pendekatan inklusif yang mengedepankan kepedulian terhadap aspek kesejahteraan dan integrasi sosial pengemudi tradisional, sehingga Makassar dapat mewujudkan mobilitas modern yang adil bagi angkutan lokal.
Tulis Komentar