Makassar – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel) merilis Catatan Akhir Tahun (Catahu) 2024. Salah satu bahasannya adalah soal penegakan hukum di Sulsel.
Setidaknya, LBH Makassar mencatat 212 warga sipil yang menjadi korban pelanggaran HAM oleh aparat penegak hukum, yaitu polisi dan TNI. Saat konferensi pers, Koordinator Bidang Hak Sipil dan Politik LBH Makassar, Hutomo Mandala Putra menyebut korban pelanggaran HAM itu terjadi secara berkala dan momen yang berbeda.
"Sepanjang 2024, LBH Makassar mencatat lebih dari 212 korban pelanggaran HAM yang melibatkan aparat kepolisian, mencakup pembungkaman ekspresi di kampus, kriminalisasi pembela HAM dan pejuang lingkungan, hingga tindakan brutalitas demi melindungi kepentingan korporasi," kata Hutomo, Jumat (27/12/2024).
Di setiap peristiwa, baik unjuk rasa mahasiswa atau perampasan hak warga, LBH Makassar tak pernah absen dalam memberikan bantuan dan layanan. Hanya saja, aparat penegak hukum kerap menghalangi LBH, termasuk dalam hal pemberian bantuan hukum.
"Dari beberapa peristiwa yang melibatkan kekerasan aparat dan penangkapan sewenang-wenang, kami dari LBH dan beberapa jaringan beberapa kali terlibat dalam pemberian bantuan hukum, namun hampir setiap ingin melakukan pendampingan mendapat penghalang-halangan aparat kepolisian dengan berbagai macam modus," ujar dia.
Modus yang Hutomo maksud adalah penghalangan pendampingan hukum terhadap korban yang ditangkap polisi. Termasuk juga pemeriksaan polisi tanpa pendamping hukum.
"Aparat kepolisian melakukan modus manipulasi kepada pemberi bantuan hukum dan membatasi jumlah pendamping ke ruang pemeriksaan korban, modus lain korban yang ditangkap belum bisa ditemui karena ada pendataan identitas," terang dia.
"Namun ternyata pada saat itu aparat kepolisian melakukan pemeriksaan secara (sepihak) tanpa adanya pendamping hukum kepada korban, pemberi bantuan hukum baru diperbolehkan masuk setelah pemeriksaan selesai atau hampir selesai tinggal tanda tangan berita acara pemeriksaan," tambah dia.
Menurut Hutomo, kejadian seperti terjadi berulang kali. Ia sangat menyayangkan sikap-sikap demikian karena menyalahi prinsip hukum dan keadilan.
"Akhirnya kepolisian dengan mudah mendapatkan informasi dari hasil pemeriksaan itu, bahkan kami pernah menemukan suatu kasus peserta aksi demonstrasi dipaksa untuk dimanipulasi diminta surat pernyataan agar tidak mengulangi kembali perbuatan aksi demonstrasi," tandas dia.
Catatan Kasus Kekerasan Seksual LBH Makassar
Selain kasus pelanggaran HAM, LBH Makassar juga merilis sebanyak 55 kasus kekerasan seksual yang terjadi di Sulawesi Selatan (Sulsel) sepanjang tahun 2024. Dari puluhan kasus itu, mayoritas korbannya adalah anak dibawah umur.
Jumlah kasus itu juga meningkat tajam jika dibanding dengan tahun sebelumnya, dimana LBH Makassar hanya mencatat 20 kasus. Hal itu, bagi LBH Makassar adalah tren yang sangat memprihatinkan.
"Kalau kekerasan seksual yang ditangani oleh LBH Makassar itu ada 55 kasus yang dicatat, jadi korbannya itu ada anak, dewasa dan perempuan disabilitas. Jumlah itu meningkat dari tahun sebelumnya yang mencatat 20 kasus," kata Koordinator bidang Hak Perempuan, Anak, dan Perempuan LBH Makassar, Ambara Dewi Purnama kepada wartawan, Jumat (27/12).
Menurut Ambara, dari sejumlah kasus kekerasan seksual yang tercatat, 33 di antaranya menimpa anak-anak, menjadikannya kategori yang paling dominan. Sementara itu, mayoritas pelaku merupakan orang-orang terdekat korban, seperti keluarga atau kerabat dekat.
"Jumlah anak yang mendominasi 33 korban khusus untuk korban anak ini kebanyakan pelakunya tetangga, paman, ada juga ayah tiri, guru sekolah juga termasuk," ujar dia.
Selain itu, Ambara juga mengaku miris melihat kasus pelecehan seksual yang kembali mencuat di lingkungan pendidikan. Selain karena institusi menjadi tempat pembinaan generasi, kampus juga diisi oleh orang-orang yang punya banyak gelar akademik.
"Jelang penutup tahun 2024, Kota Makassar digegerkan dengan beberapa peristiwa yang membuat kita luka bersama. Institusi Pendidikan telah menjadi sarang kejahatan dan merusak ruang aman bagi kelompok rentan khususnya Perempuan, Anak dan Disabilitas," terang dia.
"Sekolah dan Kampus yang seharusnya merupakan mercusuar diskursus, pentingnya menciptakan ruang aman dari segala lini malah berbalik arah," tambah Ambara.
Tulis Komentar