Bantaeng - Ratusan buruh dan pekerja di Bantaeng, Sulawesi Selatan (Sulsel), menyeruduk kantor DPRD, mereka memprotes dugaan praktik ketenagakerjaan yang dinilai tidak adil di PT Huadi Nickel Alloy Indonesia, Rabu, 9 Juli 2025. Mereka mendesak agar DPRD segera membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk mengusut berbagai pelanggaran hak buruh yang disebut terus berulang tanpa penyelesaian, termasuk pemutusan hak kerja (PHK) sepihak.
Berdasarkan data Serikat Buruh Industri Pertambangan dan Energi (SBIPE), sejak akhir 2024 hingga Juli 2025, tercatat sebanyak 73 pekerja mengalami PHK sepihak dan mengabaikan SOP yang berlaku. Bukannya berbenah, PT Huadi kembali berulah dengan merumahkan sebanyak 350 buruh tanpa alasan yang jelas.
"Sejak akhir 2024 hingga Juli 2025, sedikitnya 73 pekerja telah mengalami PHK sepihak tanpa musyawarah dan tanpa mengikuti prosedur hukum yang berlaku. Pada 1 Juli 2025, sekitar 350 pekerja lainnya juga dirumahkan tanpa surat resmi, tanpa kejelasan status kerja, dan tanpa menerima upah," kata kepala Divisi Advokasi, Hukum dan Kampanye SBIPE, Junaedi Hambali dalam keterangannya.
Selain itu, kata Junaedi, PT Huadi hingga kini belum memberlakukan Upah Minimum Provinsi (UMP) Sulsel tahun 2025, dan masih menggunakan standar pengupahan tahun sebelumnya. Selain itu, perusahaan juga tidak memberikan upah lembur meskipun para buruh bekerja hingga 12 jam setiap hari.
"Seluruh proses ini dilakukan secara sepihak, tanpa melibatkan serikat pekerja, tanpa konsultasi dengan Dinas Ketenagakerjaan, dan tanpa dasar hukum yang memadai. Ini bukan sekadar persoalan administrasi, tapi bentuk nyata pelanggaran hukum dan ketidakadilan sistemik dalam balutan investasi besar," ucap dia.
Tidak hanya buruh yang berjuang atas nasib mereka, Junaedi menyebut ratusan warga yang tinggal di sekitar Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) turut mengeluhkan dampak limbah industri yang mencemari permukiman. Meski masyarakatnya menjerit, Hambali menilai pemerintah Kabupaten Bantaeng memilih bungkam terhadap kondisi warga yang terdampak langsung aktivitas industri di kawasan tersebut.
"Yang jadi korban bukan hanya buruh. Warga di sekitar Kawasan Industri Bantaeng juga menderita mulai air bersih sulit, udara dipenuhi debu, sawah gagal panen, rumput laut mati, dan limbah mencemari rumah. Ini bukan cuma masalah perusahaan, ini kegagalan negara melindungi rakyatnya," ujar dia.
Padahal kata Direktur Balang Institute itu, pada tahun 2022, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) pernah menjatuhkan sanksi administratif kepada PT Huadi karena terbukti melanggar baku mutu limbah cair sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 5 Tahun 2014. Namun, hingga kini pengawasan serta penindakan dari pemerintah daerah terhadap perusahaan tersebut nyaris tidak terlihat.
"Sanksi sudah pernah dijatuhkan KLHK, tapi sampai hari ini pemerintah daerah seolah tutup mata. Situasi ini harus segera direspon," tandas dia.
Sejak pukul 10.00 WITA, massa aksi memadati halaman kantor DPRD Bantaeng untuk menagih sikap tegas dari para legislator. Namun hingga mendekati pukul 12.00 WITA, tak satupun pimpinan maupun fraksi turun menemui massa, sementara Komisi B yang diminta hadir justru ditolak karena tidak mewakili tuntutan utama, yakni pembentukan Panitia Khusus lintas fraksi.
"Kami ingin bicara langsung dengan pimpinan dan seluruh fraksi. Yang kami perjuangkan adalah pembentukan Pansus, bukan sekadar dengar pendapat biasa," tegas Junaedi.
Karena tak kunjung mendapat respons dari DPRD, massa aksi akhirnya masuk ke dalam gedung dan menggelar diskusi terbuka di ruang rapat paripurna. Dalam forum tersebut, para buruh memaparkan berbagai dugaan pelanggaran yang mereka alami melalui proyektor, disaksikan langsung oleh staf DPRD, aparat keamanan, dan massa aksi lainnya.
Karena aksi tak membuahkan hasil, massa kemudian menyerahkan dokumen tuntutan kepada Sekretaris Dewan untuk disampaikan langsung kepada Ketua DPRD Bantaeng. Mereka memberi tenggat waktu tiga hari agar DPRD menyampaikan jawaban resmi terkait permintaan pembentukan Panitia Khusus, dan jika tidak ada tanggapan, aksi susulan akan kembali digelar.
Berikut tuntutan massa buruh menyampaikan lima tuntutan utama kepada DPRD Kabupaten Bantaeng:
1. Segera membentuk Pansus DPRD untuk menyelidiki pelanggaran hak buruh dan lingkungan oleh PT Huadi.
2. Mendesak perusahaan membayar kekurangan upah lembur, gaji tertunda, dan pesangon untuk buruh yang di-PHK.
3. Menghentikan praktik PHK dan perumahan sepihak yang tidak sesuai hukum.
4. Menuntut penerapan UMP 2025 secara penuh dan adil.
5. Mendorong pemerintah daerah berpihak kepada rakyat dan buruh, bukan semata-mata pada kepentingan investasi.
Dasar hukum yang dilanggar, tuntutan ini berlandaskan hukum yang jelas.
1. UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan
2. PP No. 36/2021 tentang Pengupahan
3. UU No. 23/2014 tentang
4. Pemerintahan Daerah (kewenangan DPRD dalam fungsi pengawasan dan pembentukan Pansus). (Rls)
Tulis Komentar