Bantaeng - Bupati Bantaeng, Sulawesi Selatan (Sulsel), M. Fathul Fauzy Nurdin alias Uji ingin menerapkan sistem pengelolaan sampah seperti cara pemerintah Jakarta. Keinginan Uji mendapat apresiasi dari berbagai pihak, termasuk Balang Institute, salah satu Non-Governmental Organization (NGO) di Bantaeng, yang konsentrasi mengelola potensi lingkungan yang berkeadilan dan berkelanjutan bagi masyarakat.
Sebelumnya, Uji bertandang ke Jakarta pada Ahad, 22 Juni 2025, dalam rangka mempelajari tata kelola sampah yang nantinya akan diterapkan juga di Bantaeng. Ia bersama sejumlah kolega mengunjungi Tempat Pembuangan Sampah Reduce, Reuse, Recycle (TPS 3R) di Sunter, Jakarta Utara.
Pengelolaannya menekankan pada pengurangan, menggunakan kembali dan daur ulang. Sebagaimana diketahui, TPS 3R Sunter mengelola sampah plastik hingga menjadi biji plastik dan mengubah sampah organik menjadi pupuk kompos.
Setelah berkeliling beberapa lama dengan pihak pengelola, Uji merasa jika pengolahan sampah di TPS 3R Sunter sangat layak diterapkan di Bantaeng, selain karena TPA Bissappu yang telah kelebihan beban muatan, rencananya itu juga berpotensi membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat.
"Selain untuk menjaga kebersihan dan lingkungan, pengelolaan sampah ini juga dapat menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat Bantaeng. Kami berharap ini dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi angka pengangguran di daerah kita," ujar Uji.
Menanggapi itu, Direktur Balang Institute, Junaedi Hambali menyebut upaya Bupati Bantaeng layak diapresiasi. Hanya saja, ia menekankan sejumlah poin penting, agar kunjungan belajar itu tak meninggalkan kesan hanya sekadar jalan-jalan.
"Kami menilai kunjungan ini sebagai langkah awal yang layak dicatat. Ada upaya dari Bupati Bantaeng untuk belajar dari daerah lain. Tapi studi tiru tidak cukup berhenti pada simbol kunjungan atau unggahan video. Pertanyaan pentingnya adalah apa yang benar-benar mau dipelajari? Dan bagaimana itu diterapkan di konteks Bantaeng?," kata Junaedi kepada Maritimnews.co, Selasa (24/6).
Junaedi sendiri telah mencermati unggahan video di Instagram Uji saat kunjungan ke TPS 3R Sunter. Meski tak ingin berkomentar banyak tentang tata kelola sampah di tempat itu, ia mengharapkan bupati Uji melihat dengan jeli bahwa sejumlah pekerja tak menggunakan alat pelindung diri (APD) yang memadai.
"Dalam unggahan video yang beredar, sistem pengolahan sampah memang terlihat rapi. Namun kami melihat satu hal yang mengkhawatirkan pekerja pengelola sampah tampak bekerja tanpa APD. Ini bukan sekadar kelalaian teknis, ini mencerminkan pendekatan pengelolaan sampah yang tidak menempatkan keselamatan buruh sebagai prioritas," ungkap dia.
Hal itu, kata dia, sangat penting diperhatikan lantaran menyangkut keselamatan pekerja. "Sampah rumah tangga mengandung risiko biologis dan kimia, dari mikroplastik, uap amonia, gas metana, hingga limbah medis bercampur. Ketika pekerja tidak dilindungi, beban pencemaran berpindah dari lingkungan ke tubuh manusia. Ini bukan masalah kecil, ini menyangkut ekologi, hak atas kesehatan, dan keadilan sosial," jelas Junaedi.
Ia menekankan hal itu dengan bersandar pada pengalaman pendampingan terhadap kelompok rentan di Bantaeng. Meski tak berkaitan langsung, kata Junaedi, ketimpangan yang dialami warga di wilayah Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) mesti dijadikan pelajaran oleh pemerintah jika hendak membangun infrastruktur pengelolaan sampah itu.
"Situasi ini mengingatkan kami pada buruh dan warga di sekitar Kawasan Industri Bantaeng yang selama ini menanggung beban polusi demi narasi investasi. Jangan sampai pengelolaan sampah mengulang pola yang sama yakni infrastruktur diagungkan, tapi keselamatan pekerja dan masyarakat terabaikan," tegas Junaedi.
Selain itu, Junaedi tak mengerti alasan Bupati Uji menjadikan Jakarta sebagai tempat studi tiru. Sebab, Jakarta sendiri adalah Kota yang tak masuk kategori maju dalam sistem pengelolaan sampah. Salah satu contohnya adalah rencana penerapan konsep waste to energy alias limbah menjadi energi yang belum dijalankan.
"Itulah pertanyaan mendasar yang perlu dijawab, kenapa Jakarta? Kota ini juga tengah kewalahan dengan sampahnya sendiri. Bahkan tidak termasuk daftar wilayah yang memiliki pengelolaan sampah yang maju," tutur Junaedi.
Memang, ia tak memungkiri jumlah penduduk Jakarta yang sangat tinggi, yang menjadi sebab kota itu kewalahan mengelola sampah. Alasan inilah, kata Junaedi yang seharusnya dipertimbangkan lebih awal oleh Bupati Uji sebelum menentukan tempat studi tiru.
"Data Dinas Lingkungan Hidup (LH) Bantaeng tahun 2020 mencatat, timbulan sampah di Bantaeng mencapai 74,23 ton per hari, dengan 74 ton berasal dari rumah tangga. Ini angka besar. Tapi apakah sistem di Jakarta bisa menjawab persoalan itu?," beber dia.
Lagipula, Junaedi menyebut pengelolaan sampah di Bantaeng tak cukup hanya dengan menyediakan TPA dengan sejumlah teknologi canggih. Perlu edukasi bermakna kepada masyarakat dan penyadaran tentang pentingnya memilah dan mengolah sampah dari rumah.
"Kalau yang ditiru hanya soal angkutan dan pengolahan akhir, sementara masalah di hulu seperti pengurangan konsumsi, sistem pemilahan, dan keterlibatan warga diabaikan, maka kita hanya membangun ilusi solusi. Bukan penyelesaian yang menyentuh akar," kata Junaedi.
Karena itu, Junaedi mewanti-wanti pemerintah agar rencana pengelolaan sampah di Bantaeng didasari dengan nurani, dan tidak menggunakan kacamata ‘proyekan’ yang lebih mementingkan keuntungan ekonomi. "Perlu dikritisi apakah sistem 3R (Reduce, Reuse, Recycle) benar-benar dijalankan di Bantaeng? Atau kita justru larut dalam logika makin banyak sampah, makin besar proyeknya," jelas dia.
Ia juga menekankan agar pemerintah tak larut dan terbuai dengan sistem pengelolaan daerah lain yang dinilai bagus. Sebab, di Bantaeng, telah ada regulasi yang mengatur tata kelola sampah sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah.
Catatan lainnya, Junaedi juga berharap kepada pemerintah agar tak bekerja sendiri dalam persoalan pengelolaan sampah di Bantaeng.
"Di Bantaeng sendiri, Perda No. 3 Tahun 2022 dan Perbup No. 63 Tahun 2018 sebenarnya sudah menegaskan pentingnya peran masyarakat dalam pengelolaan sampah rumah tangga melalui pembentukan Bank Sampah dan TPS 3R. Bahkan telah dibentuk beberapa unit seperti Bank Sampah Bissampole Bersinar dan rumah pengomposan. Tapi seberapa besar mereka dilibatkan dalam sistem secara utuh?,” sambung Junaedi.
Artinya, kata Junaedi, bersamaan dengan rencana menghadirkan infrastruktur pengelolaan sampah, pemerintah harus menyadari bahwa yang perlu diubah dari masyarakat adalah pola pikir tentang sampah. Ia mencontohkan Pulau Dewata sebagai salah satu daerah yang pemerintahnya berhasil menyadarkan masyarakat tentang pentingnya pengelolaan sampah dari hulu ke hilir.
"Bandingkan dengan Bali, misalnya. Mereka mendorong ekonomi sirkular, melarang plastik sekali pakai, dan mempromosikan sistem OSAKI (pengelolaan sampah berbasis dapur). Di sana, tata kelola sampah bukan soal mesin canggih, tapi perubahan cara pikir dan distribusi tanggung jawab," jelas dia.
Lebih lanjut, Junaedi merekomendasikan sejumlah hal yang bisa dipertimbangkan pemerintah sebelum mematangkan rencana pembangunan infrastruktur pengelolaan sampah di Bantaeng.
"Perkuat pengelolaan sampah pada sumbernya (Hulu) dengan mendorong sistem pemilahan sampah di rumah tangga melalui edukasi, platihan, dan regulasi yang mengikat, sediakan fasilitas sampah terpilah di fasilitas publik, pasar dan kawasan padat penduduk, optimalkan bank sampah yang sudah ada dan dorong kebijakan pengurangan sampah sekali pakai," usul dia.
"Empat poin di atas menjadi langkah dasar untuk mengatasi persoalan sampah di bantaeng. edukasi, fasilitas, dan kebijakan. Dalam waktu dekat juga, sekitar akhir bulan Juli, Balang akan melakukan brand Audit di beberapa titik di Bantaeng terutama sungai dan pantai, langkah ini juga penting untuk melibatkan produsen bertanggungjawab dalam pengelolaan sampah,” tandas Junaedi.
Tulis Komentar