maritimnewsdotco@gmail.com
Banner Iklan Maritim News

WALHI Sulsel Apresiasi MA Cabut Aturan Ekspor Pasir Laut

$rows[judul] Foto: Aksi penolakan WALHI Sulsel bersama Perempuan Pesisir terhadap PP No. 26/2023. (dok. WALHI Sulsel)

Makassar - Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sulawesi Selatan (Sulsel) mengapresiasi putusan Mahkamah Agung (MA) yang telah mencabut aturan ekspor pasir laut. Kepala Divisi Keterlibatan Perempuan WALHI Sulsel menyebut pembatalan kebijakan itu membuka peluang bagi masyarakat, khususnya nelayan dan perempuan pesisir menjalankan profesi mereka dengan aman.

Sebelumnya, pada Mei 2023 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan membuka keran ekspor pasir laut dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Setahun berikutnya, Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan lantas menerbitkan aturan turunannya, yakni Permendag Nomor 20 Tahun 2024 dan Permendag Nomor 21 Tahun 2024. Kedua aturan itu melegalkan pengerukan sedimentasi laut menjadi komoditas ekspor.

Namun, dua tahun setelahnya, tepatnya 2 Juni 2025, MA mengabulkan permohonan gugatan terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. MA menyatakan PP tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu Pasal 56 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan (UU Kelautan). Sehingga, Majelis hakim kemudian memerintahkan termohon yaitu presiden untuk mencabut PP 26/2023.

"Putusan Mahkamah Agung ini adalah bentuk keberpihakan pada keadilan ekologis dan pengakuan terhadap peran komunitas, terutama perempuan, dalam menjaga laut sebagai ruang hidup Bersama", ujar Fadila saat konferensi pers bersama Perempuan Pejuang Pulau Kodingareng, Kamis, 26 Juni 2025.

Selain keadilan ekologis dan keamanan nelayan, putusan itu juga berdampak positif bagi perempuan di wilayah pesisir, yang perannya tak sekadar penjaga rumah tangga, tetapi juga bagian penting dari rantai produksi perikanan dan pengelolaan sumber daya laut secara tradisional. 

"Karena itu, Kami berharap langkah ini menjadi pemicu evaluasi menyeluruh terhadap seluruh kebijakan yang berdampak pada perusakan ekosistem laut, serta membuka ruang lebih besar bagi keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut lingkungan dan wilayah kelola rakyat. Karena bagi kami perlindungan laut bukan hanya soal lingkungan, tetapi juga soal keberlanjutan hidup, keadilan gender, dan masa depan generasi mendatang", tutup dia.

Sementara itu, perwakilan Perempuan Pejuang Pulau Kodingareng, Sarina menjelaskan bahwa putusan MA itu adalah hasil perjuangan panjang yang sangat berarti. Saat ini, ia dan warga Pulau Kodingareng tak lagi harus takut kekurangan hasil tangkap ikan atau bermasalah dengan penegak hukum.

"Jadi ketika kami mendengar bahwa aturan ini dicabut kami sangat bahagia, dan mendesak agar pemerintah menyosialisasikan putusan MA itu, supaya pikiran kami bisa tenang. Selama ini kami kepikiran terus dan trauma dengan apa yang kami sudah alami sebelumnya,” ujar Sarina.

Ia menggambarkan peristiwa pahit menimpa warga Pulau Kodingareng beberapa tahun silam, dimana pengerukan sedimentasi laut tak hanya mengurangi hasil tangkap nelayan, tetapi juga terjadi konfrontasi antara mereka dan penegak hukum lantaran dianggap menghalang-halangi.

Karena itu, melalui putusan MA, Sarina mengharapkan pemerintah segera melakukan pemulihan lingkungan sosial-ekonomi sebagai akibat dari aktivitas tambang yang dilakukan di wilayah tangkap nelayan di Pulau Kodingareng. 

"Kami juga berharap tidak ada lagi aktivitas penambangan yang terjadi, bukan hanya di wilayah tangkap nelayan Kodingareng, tapi juga di wilayah tangkap nelayan lain karena sejatinya nelayan itu butuh laut bukan tambang pasir", tegas dia.

Diakhir pernyataan, WALHI Sulsel lalu membacakan tuntutan terkait dengan permasalahan laut yang ada di Indonesia khususnya di Sulsel.

Pertama, Mengevaluasi Tata Ruang Laut yang ada dalam Dokumen RZWP3K dan RTRW Terintegrasi yang masih melegalkan Zona reklamasi dan tambang pasir laut. Kedua, Menetapkan Wilayah Konservasi Laut berbasis Komunitas Nelayan dan Perempuan dengan Menggunakan Prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC). 

Ketiga, ⁠Memulihkan Wilayah Pesisir, Laut, dan Pulau-Pulau Kecil. Keempat, ⁠Membuat Dokumen Perencanaan Adaptasi dan Mitigasi dalam Menghadapi Perubahan Iklim. Kelima, Pemerintah segera patuhi putusan Mahkamah Agung untuk mencabut PP Nomor 26 Tahun 2023 beserta dengan aturan turunannya. (Rls)

Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)