Opini - Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi alias KDM belakangan jadi buah bibir masyarakat. Bukan karena kebiasaan blusukannya, tapi kebijakan kontroversinya mengirim anak didik yang dikategorisasi ‘nakal’ ke barak militer. Kata KDM, pendidikan semimiliter memberi peluang karakter anak nakal menjadi disiplin, dan berpotensi menghilangkan perilaku buruk anak, emang begitu?
Awalnya, saat menyaksikan KDM mengutarakan idenya, saya berpikir hal itu bakal ditentang banyak pihak, termasuk para pemerhati pendidikan. Belakangan, saya merasa miris lantaran ide KDM itu mendapat dukungan dari Kak Seto, seorang Psikolog senior yang juga pemerhati anak. Hal itu membuat saya memundurkan langkah sejenak, berupaya menebak-nebak kemana arah isu ini akan berkembang.
Sembari memperhatikan, ternyata fenomena ‘mengirim siswa nakal’ ke barak itu juga didukung oleh salah satu legislator Sulsel, Yariana Somalinggi dengan mengusulkan kebijakan serupa diberlakukan kepada anak didik yang suka terlibat demonstrasi. Saya mengernyitkan dahi, kenapa seorang legislator bisa berpikiran bahwa demonstrasi itu perangai nakal?. Mungkinkah, legislator itu dibuat trauma oleh demonstran, yang kerap menjadikan kantornya di Jalan Urip sana sebagai tempat mengadu?, mungkin saja begitu, dan anggap saja begitu. Namun jika benar begitu, saya menilai sang wakil rakyat itu benar-benar kehilangan akal sehatnya, menjadikan trauma pribadi sebagai alasan untuk mendorong anak didik masuk ke barak militer adalah usulan yang tak tepat.
Hemat saya, anak didik yang gemar ikut demonstrasi sejak masih duduk di bangku sekolah adalah manifestasi nalar kritis dan rasa ingin tahu yang tinggi, bukankah itu layak diapresiasi?. Meski tak memungkiri ada juga yang ikut-ikutan unjuk rasa hanya sebatas aktualisasi diri dan mencoba hal baru. Namun penting dicatat, fenomena itu adalah cerminan kualitas pikiran yang mereka dapat di sekolah.
Kembali ke topik, soal barak militer menjadi wadah penggemblengan anak didik, saya sangat tidak sepakat. Saya mempelajari bahwa pendidikan sejatinya mengedepankan pendekatan-pendekatan emosional yang humanis, lembut dan sabar. Anak nakal versi KDM adalah mereka yang bermasalah pola pikirnya, sementara solusi yang disiapkan adalah penggemblengan fisik dan mental. Lagipula, barak militer itu mengedepankan prinsip kepatuhan, anak didik usia SMP-SMA memiliki daya pikir dan imajinasi yang kuat, yang hanya bisa tumbuh jika difasilitasi dengan baik pada tiga pilar pendidikan, sekolah, keluarga dan masyarakat. Disisi lain, tekanan fisik yang ‘kasar’ dan menakut-nakuti kerap menyembunyikan kekerasan dengan dalih pendisiplinan.
Saya ingin menekankan bahwa barak militer itu bukan ruang pendidikan, tetapi ruang pendisiplinan yang penuh dengan paksaan dan intimidasi. Praktiknya adalah menanamkan kepatuhan melalui hukuman. Jadi, saya menganggap bahwa hal itu menyalahi prinsip pendidikan tentang menumbuhkan kesadaran diri dan membentuk kesadaran kritis yang berlandaskan pada kebenaran.
Hal itu juga tertuang dalam Tujuan Pendidikan Nasional UU Sisdiknas yang menyebut pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Arahnya pun sangat mulia, yaitu agar pelajar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Singkatnya, tujuan semacam ini tak bisa diperoleh di barak militer.
Saya mewanti-wanti anak nakal versi KDM yang dimasukkan ke barak militer berpotensi mengalami ketumpulan nalar kritis dan demokratis. Padahal, para elite republik ini selalu menyampaikan narasi tentang generasi emas pada 2045 mendatang, yang hemat penulis, hanya bisa dicapai jika ruang kebebasan diberikan kepada generasi muda.
Kritik semacam ini tak hanya datang dari penulis, namun juga oleh Ketua Komisi bidang Pendidikan DPR RI, Hetifah Sjaifudian yang secara tersirat menyebut KDM salah tafsir soal pendidikan karakter dan bela negara. Memang pemerinta mendorong hal itu, tapi implementasinya bukan di barak.
"Konsep bela negara lebih ditekankan pada pembangunan kesadaran nasionalisme, cinta tanah air, dan kesiapan mental. Bukan melalui pelatihan militer,” kata dia mengutip Kompas. Begitupun dengan Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Atip Latipulhayat yang menyebut program KDM itu kurang tepat, karena Kementerian Pendidikan Dasar telah memiliki mekanisme baku tentang penanganan siswa yang nakal. “Dengan guru-guru bimbingan konseling untuk menangani persoalan yang berkaitan dengan siswa, termasuk di dalamnya yang disebut kenakalan siswa, ditangani oleh guru BK,” begitu kata Wamendikdasmen saat mengkritisi kebijakan KDM.
Itu artinya, pendidikan harus mampu membentuk warga negara yang sadar akan pentingnya Pendidikan yang tidak berorientasi pada militerisme, perlu merefleksikan kembali gagasan Freire akan Pendidikan pembebasan, bukan malah institusi pemerintah yang mengendalikan dengan dalih melatih kedisiplinan. Lagipula, saat ini negara tak butuh warga yang taat, tetapi warga yang sadar, kritis dan mampu melawan ketidakadilan.
Jadi, saya berpendapat bahwa membenarkan pengiriman siswa ke barak militer adalah bukti bahwa negara gagal mengelola sistem pendidikan yang beradab. Disisi lain, militer yang dijadikan acuan moral ini justru kerap tersandung kasus internal yang mencoreng wajah institusinya sendiri. Mulai dari prajurit yang membunuh pacarnya di Kalimantan sana, hingga kasus manipulasi informasi soal ledakan di gudang amunisi yang menewaskan warga sipil yang belakangan diketahui ternyata dipaksa bekerja tanpa prosedur resmi. Semua itu menunjukkan bahwa tubuh militer sendiri belum tentu mampu mengelola persoalan moral dan tanggung jawab.
Jika militer belum selesai dengan anggota “nakalnya” sendiri, pantaskah ia dipercaya menangani anak-anak yang membutuhkan bimbingan? Militer bukan cerminan moral yang mutlak untuk diadopsi ke ruang Pendidikan, banyak penyelewengan kekuasaan di tubuh militer dan pelanggaran HAM yang sampai saat ini masih menjadi sejarah kelam
Ketaatan formal yang ada di tubuh militer tidak bisa menjamin integritas moral, karena pendidikan moral perlu di bangun lewat refleksi etika dalam kehidupan sehari-hari, bukan sekadar baris-berbaris dan latihan fisik lainnya. Pendidikan harus dibangun atas dasar kemanusiaan dan kebenaran. Anak nakal perlu dipahami, dibimbing, dibina dan diarahkan. Pendidikan ala militer justru melahirkan anak didik yang tunduk dan patuh tanpa kesadaran. Perlu Pendidikan yang berbasis pendekatan humanis yang memandang anak sebagai subjek pebelajar, bukan sebagai objek hukuman. Melalui pendekatan ini, ada potensi menumbuhkan karakter yang sejati, pendidikan harus memanusiakan, bukan menjinakkan
Siswa bukan tentara kecil, mereka seharusnya ditumbuhkan kreativitas, empati dan kesadaran sosialnya. Sekolah harus menjadi aparatur ideologi negara yang bisa menyebarkan nilai-nilai positif, norma dan aturan yang berlaku di masyarakat. Lawan kekerasan dengan dalih melatih kedisiplinan, wujudkan pendidikan yang adil, inklusi, toleran, demokratis dan melahirkan generasi yang kritis.
Penulis: Muhammad Ikra - Formatur Ketua Umum Himatep FIP UNM Periode 2025-2026
Tulis Komentar