Makassar - Warga Luwu, Sulawesi Selatan (Sulsel) yang menamakan dirinya Aliansi Wija To Luwu bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar menyampaikan aspirasi di Kantor DPRD Provinsi Sulsel, Selasa (10/12/2024), terkait kerugian akibat aktivitas PT. Masmindo Dwi Area (MDA). Saat penyampaian aspirasi, legislator yang memimpin jalannya RDP cenderung tak berpihak kepada mereka.
Bahkan, saat pendamping hukum dari LBH Makassar menyampaikan pembelaan kepada warga, tetiba mic yang ia gunakan dimatikan. Menilai aksi DPRD Sulsel yang tak profesional, Aliansi Wija To Luwu meninggalkan ruangan RDP alias walk out.
Pendamping Hukum LBH Makassar, Nurwahidah, menyatakan pihaknya mengantongi bukti kerusakan yang ditimbulkan perusahaan. Hanya saja, DPRD yang menjamu mereka tak memberi kesempatan kepada dirinya menyampaikan hasil kajian itu.
"Kami tidak diberi kesempatan untuk membahas terkait bagaimana perlindungan lingkungan atau Gunung Latimojong yang masuk dalam area rawan bencana, yang seharusnya tidak boleh dilakukan aktivitas pertambangan diatasnya. Padahal kita tahu bahwa area konsesi Masmindo juga mencaplok area rawan bencana tersebut," kata Nurwahidah dalam keterangan tertulisnya.
Sementara itu, salah satu korban pengrusakan tanaman cengkeh oleh PT. Masmindo Dwi Area, Cones menegaskan ganti rugi perusahaan tidak sebanding dengan dampak yang dirasakan warga. Cones sendiri hadir di lokasi sebagai bagian dari aliansi namun tak dilibatkan saat RDP.
"Berapapun ganti rugi yang mau diberikan perusahaan, tidak akan menghilangkan rasa sakit hati yang kami rasakan. Bahkan sampai saat ini anak saya Livia masih takut untuk ke rumah di Rante Balla (lokasi pengrusakan)," ujar Cones.
Diketahui, Kawasan Latimojong dikategorikan sebagai wilayah dengan risiko tinggi bencana longsor. Berdasarkan Perda Kabupaten Luwu Nomor 08 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, aktivitas penggalian, terutama pertambangan, dilarang di area dengan kemiringan lereng tertentu seperti di Latimojong.
Koordinator Bidang Ekosob LBH Makassar, Hasbi Asiddiq, menyatakan proses hukum terkait kasus tersebut harus berjalan sesuai ketentuan yang berlaku. Menurutnya, upaya ganti rugi oleh perusahaan tidak dapat dijadikan alasan untuk menghentikan perkara.
Hasbi menegaskan, pengrusakan tanaman cengkeh oleh perusahaan dan pengawalan aparat merupakan dua hal terpisah. Namun, kata Hasbi Polda Sulsel hanya menyarankan penyusunan SOP dalam pembebasan lahan, meskipun penarikan aparat dari lokasi konflik tidak akan dilakukan.
Kendati demikian, ia menilai Polda Sulsel keliru memahami prinsip hukum pidana dalam kasus pembebasan lahan. Ia menyebut pemberian ganti rugi oleh perusahaan tidak serta-merta menghapus unsur tindak pidana terkait penebangan cengkeh milik warga.
"Dalam Izin Lingkungan telah dijelaskan proses pembebasan Lahan dijalankan dengan Musyawarah, kalau tidak bisa diselesaikan dengan cara ini ada mekanisme Hukum yg tersedia di Pengadilan. Kehadiran aparat Keamanan di wilayah tersebut juga menunjukkan ‘Gagalnya Polda Sulsel’ memahami fungsi dan tugasnya sebagai Aparat Penegak Hukum, dan hanya menjalankan fungsi Pengamanan. ini bertentangan dengan Profesionalisme Polri dan Reformasi Kepolisian," tegas Hasbi. (Rls).
Tulis Komentar